KI DKI Jakarta menggelar FGD Penerapan Pidana Bagi Badan publik Menurut UU Nomor 14 Tahun 2008

Jakarta – Komisi Informasi DKI Jakarta menggelar Focus Group Discussion (FGD) Penerapan Pidana Bagi Badan publik menurut UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).

FGD digelar secara hybrid bertempat di Gedung Graha Mental Spiritual, Lantai 7 Jalan Awaludin II Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada Jumat(12/7/2024).

Wakil Ketua KI DKI Jakarta Luqman Hakim Arifin mengakui sampai saat ini, UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) Nomor 14 Tahun 2008 sudah 16 tahun pada implementasi kekuatannya dalam menegakkan visi dan tujuannya dirasa masih lemah.

“Tentu FGD ini, akan jadi catatan khusus untuk memberikan masukan dalam revisi UU KIP 14/2008. Harapannya, dapat memberi manfaat juga pengembangaan keterbukaan informasi di masa yang akan datang di Jakarta,” kata Luqman Hakim Arifin, Wakil Ketua KI DKI Jakarta saat membuka FGD.

Narasumber Abdul Rahman Ma’mun Dosen Universitas Paramadina, membahas tentang Ancaman Pidana UU KIP antara Norma dan Etika. Ia meyatakan secara normatif pasal-pasal pidana Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik absah dan bisa dilaksanakan.

“Praktiknya ada yang menggunakan UU Pidana, walaupun tidak mudah pasal pidana ini diterapkan,” ucapnya.

Abdul Rahman juga jelaskan pelaksanaan pasal pidana UU KIP dianalogikan dengan Pidana dalam UU Pers (No. 40 Tahun 1999), bahwa bila ada kasus dugaan pidana menyangkut pers atau wartawan maka prosesnya terlebih dahulu harus dimediasi di Dewan Pers.

Senada itu, narasumber kedua Prof Mompang Lycurgus Panggabean menyatakan unsur-unsur pidana, adalah penyebutan waktu terjadinya pidana (tempos delicti) dan tempat terjadinya pidana (locus delicti) dan keadaan lain dalam unsur formal, kalau tidak disebutkan atau meleset penyebutannya dapat mengakibatkan dakwaan batal secara hukum.

Ia juga sebutkan adanya delik aduan merupakan tindak pidana yang hanya dapat diadili, jika telah ada pengaduan dari korban (victim) atau yang berhak dan tidak dicabut. Mompang juga sebutkan sifat sanksi pidana itu kumulatif relatif (dan/atau), sehingga hakim dapat memilih 3 alternatif, yaitu: penjara/kurungan, denda atau penjara/kurungan dan denda.

Dalam Pasal 52 UU KIP 14/2008, menurut Mompang Pasal 52 mengatur sanksi bagi, badan hukum, perseroan, perkumpulan, atau Yayasan, mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam melakukan tindak pidana atau kedua-duanya.

“Politik hukum saat itu, gradasi penjara dan kurungan, padahal pidana kurungan sifatnya terlalu ringan. Dalam pelaksanaannya, yang mendapat rumah kurungan berada di Lapas”, ujarnya.

Sementara itu, Henri Subagiyo sebagai pegiat Keterbukaan Informasi Publik (KIP) menyoroti pasal 52 bahwa seluruh delik pidana UU KIP adalah delik aduan.

“Harus ada kerugian kepentingan bagi pihak pengadu. Padahal banyak informasi publik menyangkut kepentingan publik,” imbuh Henri.

Henri menjelaskan seluruh delik pidana KIP mensyaratkan unsur kesengajaan, dimana unsur ini mempersulit terutama untuk delik formil, Idealnya untuk tindak pidana materiil dapat digradasi menggunakan unsur lalai dan kesengajaan. Terlebih kesengajaan tersebut, itu ditambah ancaman atau sangsi juga ringan hanya 1 tahun.

“Bagi penegak hukum, agak rumit dan tidak mudah untuk membuktikan unsur kesengajaan, harus dipahami apa yang menjadi sangkaan,” ucapnya.

Hal itulah pernah kami sampaikan kepada DPR maupun pihak pemerintah sebagai catatan.

Similar Posts