Komisi Informasi DKI Dorong Keterbukaan Informasi hingga RT/RW di Jakarta Timur
Jakarta – Komisi informasi (KI) Provinsi DKI Jakarta, Harry Ara Hutabarat, menjadi narasumber dalam kegiatan Sosialisasi Keterbukaan Informasi Publik bagi Masyarakat Tingkat Kelurahan Kota Administrasi Jakarta Timur Tahun 2025 yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Timur, di Aula Bale Gede Kantor Kelurahan Kramat Jati, Senin (24/11/2025).
Kegiatan yang dibuka oleh Asisten Administrasi dan Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Kota Administrasi Jakarta Timur, Achmad Salahudin, itu dihadiri oleh Dewan Kota, LMK, RT, RW, pengelola RPTRA, PKK, FKDM, Karang Taruna, serta PPID Kecamatan dan PPID Kelurahan Kramat Jati.
Harry mengapresiasi antusiasme peserta yang hadir hingga tingkat RT dan RW. Ia berharap sosialisasi ini memperkuat hubungan baik antara masyarakat dan pemerintah serta mendorong budaya saling mengenal dan membangun jejaring di lingkungan sekitar.
Menurut Harry, sosialisasi keterbukaan informasi publik merupakan bagian dari komitmen Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menjamin hak masyarakat dalam mengakses informasi.
“Ini bagian dari komitmen Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Ini bentuk bagaimana badan publik bertanggung jawab untuk memastikan pemohon bisa mengakses informasi dengan baik. Tanpa sosialisasi, bohong kalau pemohon bisa mengakses informasi. Ini bentuk nyata negara menjamin hak informasi. Inilah pemerintahan yang terbuka, open government,” ujarnya.
Dalam pemaparannya, Harry menjelaskan bahwa dasar hukum keterbukaan informasi publik bersumber dari Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Pasal 28F UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, termasuk mencari, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan berbagai saluran yang tersedia.
Harry menegaskan, permohonan informasi kepada badan publik merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang harus dimanfaatkan masyarakat.
“Bapak Ibu, kegiatan hari ini bukan sekadar karena diundang, tetapi ini bagian dari hak asasi manusia. Memohon informasi itu hak asasi manusia yang sering terlupakan,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan peran Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di kelurahan sebagai garda terdepan pelayanan informasi publik. Masyarakat, kata dia, berhak meminta berbagai informasi terkait program, anggaran, beasiswa, maupun layanan lainnya kepada PPID sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Informasi publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan atau diterima oleh badan publik. Kelurahan dan RT/RW yang anggarannya bersumber dari APBD juga termasuk badan publik, sehingga harus transparan dan dapat dipertanggungjawabkan,” jelasnya.
Harry mencontohkan, transparansi penggunaan anggaran di tingkat RT dan RW akan berdampak positif terhadap kepercayaan publik dan membuka peluang peningkatan dukungan anggaran di masa mendatang. Karena itu, badan publik dituntut jujur dan akuntabel agar kesejahteraan masyarakat semakin meningkat.
Ia juga menekankan bahwa keterbukaan informasi publik harus berjalan seiring dengan perlindungan data pribadi. Tidak semua informasi dapat dibuka ke publik, seperti data kependudukan, riwayat kesehatan, dan informasi lain yang bersifat rahasia. Badan publik wajib menjaga keseimbangan antara keterbukaan dan perlindungan data pribadi.
Melalui sosialisasi ini, Harry berharap masyarakat semakin memahami haknya untuk mengakses informasi publik dan tidak ragu memanfaatkan mekanisme resmi yang tersedia, mulai dari permohonan informasi kepada PPID, pengajuan keberatan, hingga penyelesaian sengketa informasi di Komisi Informasi apabila terjadi persoalan dalam pemenuhan hak atas informasi.
Ia mengakui, selama ini masih banyak pemohon informasi yang menjadi penumpang gelap, yakni pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dalam memanfaatkan mekanisme permohonan informasi. Karena itu, ia mengapresiasi kehadiran berbagai komponen masyarakat hingga tingkat RT/RW dalam kegiatan sosialisasi di Kramat Jati.
“Kami berharap yang hadir di sosialisasi di Kramat Jati ini adalah komponen masyarakat yang benar-benar menjadi stakeholder pemerintahan sampai level RT/RW. Ini bisa menjadi inisiasi, percontohan bukan hanya untuk Jakarta, bahkan untuk Indonesia,” kata Harry.
Menurutnya, di beberapa daerah lain, sosialisasi keterbukaan informasi masih banyak menyasar level elit. Sementara itu, Pemprov DKI Jakarta bersama Dinas Kominfotik dan KI DKI berupaya mendorong arus keterbukaan informasi hingga ke tingkat akar rumput (grassroots).
Harry menegaskan, keberadaan PPID di badan publik bukan sekadar formalitas atau karena dorongan Dinas Kominfotik, melainkan melekat pada jabatan.
“Begitu seseorang dilantik menjadi lurah, sebenarnya ia sekaligus menjalankan fungsi PPID. Alur undang-undangnya demikian,” ujarnya.
Ia menilai sinergi antara Dinas Kominfotik dan KI DKI dalam kegiatan sosialisasi ini merupakan bentuk kolaborasi yang saling menguatkan. Ke depan, Harry berharap dua hal berjalan seiring: masyarakat semakin memanfaatkan informasi publik melalui saluran resmi PPID, dan badan publik semakin terbuka karena masyarakat kian teredukasi.
“Harapannya, masyarakat memanfaatkan informasi publik yang sudah melimpah sesuai kapasitasnya, dan badan publik dituntut semakin terbuka. Ini sinergi yang bersifat simbiosis mutualisme untuk membangun Jakarta yang lebih baik,” pungkasnya.
Sementara itu, Asisten Administrasi dan Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Kota Administrasi Jakarta Timur, Achmad Salahudin, menegaskan bahwa kegiatan sosialisasi ini merupakan bagian dari kewajiban pemerintah untuk menyampaikan informasi mengenai Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Melalui sosialisasi ini, masyarakat diharapkan memahami hak-haknya, mekanisme, serta standar operasional prosedur (SOP) yang harus dilalui untuk memperoleh informasi dari badan publik.
“Ini sangat positif supaya kita sebagai badan layanan publik lebih paham mekanisme, sehingga tidak muncul persoalan yang sampai disengketakan hanya karena ketidaktahuan atau keterbatasan SDM,” ujarnya.
Ia mengingatkan, layanan informasi publik tidak boleh dipandang sepele di era keterbukaan saat ini. Masyarakat perlu mengetahui bahwa untuk mendapatkan informasi ada alur dan proses yang harus diikuti.
“Misalnya, masyarakat menyampaikan permohonan kepada lurah, baru dua hari belum dijawab lalu langsung marah. Padahal ada mekanismenya. Kalau batas waktu dalam undang-undang tidak terpenuhi, barulah masyarakat punya hak untuk melaporkan atau mengajukan sengketa informasi. Hal-hal seperti ini banyak yang belum diketahui,” jelas Achmad.
Achmad berharap, melalui sosialisasi ini masyarakat menjadi lebih peduli dan memahami isu keterbukaan informasi publik.
“Harapan kita, masyarakat lebih care, lebih peduli dan memahami masalah keterbukaan informasi publik, karena ini adalah hak mereka. Sekaligus menjadi feedback bagi kami untuk mengetahui sejauh mana masyarakat memahami Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik,” tutupnya.
