KI DKI Jakarta Dorong Budaya Kritis Warga Lewat Pemahaman Hak atas Informasi

JAKARTA – Komisioner Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta, Agus Wijayanto Nugroho, menjadi narasumber dalam kegiatan Sosialisasi Keterbukaan Informasi Publik Bagi Masyarakat Tingkat Kelurahan Kota Administrasi Jakarta Timur Tahun 2025 di Aula Kantor Kelurahan Bidara Cina, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur, Kamis (27/11/2025). Kegiatan ini diikuti perwakilan kelurahan dan unsur masyarakat dari wilayah Jakarta Timur.

Dalam paparannya, Agus menjelaskan ciri utama badan publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yaitu lembaga yang menerima dan/atau mengelola dana yang bersumber dari APBN, APBD, bantuan luar negeri, maupun sumbangan masyarakat. Badan publik juga wajib memiliki Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) sebagai garda terdepan pelayanan informasi kepada masyarakat.

Agus memaparkan bahwa terdapat beberapa jenis informasi publik, antara lain informasi yang wajib diumumkan secara berkala dan informasi yang tersedia setiap saat. Informasi berkala adalah informasi yang harus disampaikan tanpa menunggu permintaan, seperti profil pejabat, alamat kantor, program kerja, dan kegiatan yang dapat diakses melalui website atau papan pengumuman kelurahan maupun kecamatan.

“Kalau informasi berkala, warga tidak perlu bertanya, sudah harus tersedia. Tapi kalau warga ingin mengetahui lebih rinci, misalnya laporan kegiatan yang sifatnya administratif, itu bisa diminta dan diberikan sesuai mekanisme permohonan informasi,” jelasnya.

Ia juga menguraikan alur permohonan informasi yang harus ditempuh warga ketika membutuhkan data dari badan publik. Permohonan diajukan terlebih dahulu kepada PPID. Jika dalam waktu tujuh hari kerja tidak mendapat tanggapan atau informasi tidak diberikan, pemohon dapat mengajukan keberatan kepada atasan PPID.

“Kalau di kelurahan, atasan PPID itu adalah Lurah. Kalau keberatan tidak ditanggapi, barulah sengketa informasi bisa dibawa ke Komisi Informasi,” ujarnya.

Agus menegaskan bahwa Komisi Informasi bukan lembaga penyedia informasi, melainkan lembaga penyelesai sengketa informasi antara pemohon dan badan publik melalui proses ajudikasi nonlitigasi.

“Secara sederhana, Komisi Informasi itu seperti pengadilan informasi. Kami menilai apakah informasi boleh dibuka atau tidak. Putusan Komisi Informasi bisa menguatkan, membatalkan, atau memerintahkan badan publik untuk membuka informasi, dan hanya bisa dibatalkan oleh pengadilan,” tegasnya.

Dalam sesi diskusi, Agus mencontohkan beberapa kasus sengketa informasi yang pernah ditangani, mulai dari persoalan pemilihan RT/RW, laporan pertanggungjawaban pengelolaan dana, hingga permohonan informasi pertanahan yang bersifat pribadi. Ia menekankan bahwa tidak semua informasi dapat dibuka ke publik, terutama yang mengandung data pribadi dan menyangkut kepentingan pihak tertentu.

“Kalau urusannya tanah, harus jelas dulu objek dan kepentingannya. Informasi yang bersifat pribadi hanya bisa diminta oleh pihak yang berkepentingan langsung,” katanya.

Agus juga mendorong badan publik, termasuk lembaga pengelola zakat, lembaga sosial, hingga PMI, untuk meningkatkan transparansi dengan menyediakan informasi program, prosedur, dan mekanisme layanan secara jelas melalui website maupun kanal resmi lainnya.

“Di era digital, jangan sampai warga bingung harus mencari informasi ke mana. Badan publik idealnya sudah punya standar layanan informasi yang mudah diakses,” tuturnya.

Ia mengingatkan bahwa kanal pengaduan dan partisipasi publik seperti aplikasi aduan, website resmi, hingga media sosial seharusnya dimanfaatkan warga untuk menyampaikan masukan maupun keluhan terkait layanan publik, bukan semata-mata dijadikan bahan unggahan di media sosial.

“Psikologis birokrasi itu, kalau tidak pernah diingatkan, bisa lengah. Jadi kritik dan permintaan informasi dari warga itu penting sebagai bagian pengawasan,” ujar Agus.

Pada kesempatan yang sama, Kepala Bagian Umum dan Protokol Sekretariat Kota Administrasi Jakarta Timur, Ericson Dollyno, membuka kegiatan sosialisasi dan menegaskan komitmen Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Timur untuk terus meningkatkan kualitas keterbukaan informasi publik di tingkat kelurahan.

Ericson menegaskan bahwa keterbukaan informasi merupakan hak setiap warga negara sekaligus kewajiban bagi badan publik. Melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, negara memberikan jaminan kepada masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Ia menyatakan, transparansi adalah salah satu kunci penting dalam membangun tata kelola pemerintahan yang baik, bersih, dan akuntabel. Karena itu, ia mengajak seluruh jajaran pemerintah, khususnya di wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur, untuk terus meningkatkan kualitas pelayanan informasi, memperkuat sistem dokumentasi, serta mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.

“ Saya berharap sosialisasi ini tidak hanya menjadi ajang penyampaian informasi, tetapi juga ruang diskusi aktif antara peserta dan narasumber, sehingga lahir pemahaman yang lebih dalam serta komitmen bersama dalam menguatkan keterbukaan informasi di tingkat kelurahan,” ujarnya.

Similar Posts