Menakar Ujung Sengketa: KI DKI Bahas Jalur Hukum Keberatan atas Putusan Informasi Publik
Jakarta — Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta (KI DKI) melalui Bidang Penyelesaian Sengketa Informasi (PSI) menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Upaya Hukum Keberatan atas Putusan Komisi Informasi”, pada Jumat (4/7/2025) secara hybrid. Kegiatan ini diikuti oleh perwakilan badan publik se-DKI Jakarta secara daring, dan berlangsung di Gedung Graha Mental Spiritual, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Ketua KI DKI Jakarta, Harry Ara Hutabarat, dalam sambutannya menegaskan pentingnya pemahaman badan publik terhadap mekanisme keberatan atas putusan Komisi Informasi.
“FGD ini menjadi ruang pembelajaran bersama agar ke depan badan publik dapat memahami hak dan mekanisme keberatan atas putusan Komisi Informasi, baik di tingkat provinsi maupun nasional,”ujarnya.
Ketua Bidang PSI KI DKI Jakarta, Agus Wijayanto Nugroho, menambahkan bahwa penyelesaian sengketa informasi publik merupakan mandat utama KI melalui mekanisme non-litigasi seperti mediasi dan ajudikasi. Ia menekankan bahwa keberatan badan publik harus mengikuti prosedur yang sah dan terstruktur.
“Keberatan adalah hak badan publik. Namun perlu dipahami bahwa proses ini memiliki tahapan, dimulai dari pengajuan permohonan informasi, pengajuan keberatan kepada atasan PPID, hingga jika perlu menempuh jalur hukum ke PTUN atau Pengadilan Negeri,” jelas Agus.
Dalam paparannya, Agus menjelaskan bahwa dalam proses ajudikasi, pemeriksaan awal dilakukan untuk menilai legal standing pemohon dan termohon, serta klasifikasi informasi—apakah bersifat terbuka atau dikecualikan. Jika dikecualikan, maka dilakukan pembuktian tertutup terhadap objek sengketa.
Sesi FGD turut menghadirkan Tri Cahya Indra Permana, Hakim Yustisial dan Panitera Pengganti pada Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung, yang menjelaskan peran PTUN dalam menangani sengketa informasi publik.
“Di PTUN, badan publik bisa menjadi pihak pemohon keberatan. Putusan Komisi Informasi bisa dikuatkan atau dibatalkan, tergantung pada alat bukti dan pertimbangan hukum. Tapi prinsipnya, proses harus selesai dalam waktu 60 hari,” ujarnya.
Tri Cahya juga menekankan bahwa proses hukum di PTUN tetap mengacu pada prinsip peradilan terbuka, meskipun kini bergeser ke sistem digital (e-court), yang tetap memiliki kekuatan hukum yang sah.